Sabtu, 12 Maret 2011

MOVE ACT : Street Art : Memaknai "Ruang" yang Ada

feb 2010 | frans ari prasetyo


move act (by frankaid)


Street Art, yeah ! Ini merupakan sebuah art move kalau boleh saya bilang begitu. Bagaimana tidak keberadaan street art ini mau tidak mau tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan masyarakat urban. Street art itu sendiri seperti culture baru terhadap art itu sendiri, ini merupakan sebuah (subculture) dari apa yang masyarakat bilang itu "Seni". Keberadaan street art ini merupakan sebuah respondan kritik terhadap esensi ruang publik dalam masyarakat urban tadi.

Terlepas dari catatan histori street art yang mulai berkembang di Amerika sana periode 60-an yang kelahirannya merupakan bentukan inisial yang pada umumnya berupa sebuah bentuk ekspresi dari aktivitas politik. Pada saat inilah street art mulai kembali menemukan ruangnya kembali dengan cara yang mudah. Dalam perkembangannya dimasa kini , apakah street art dalam tataran praktik  citraan secara visual : grafiti, stensil,tag, poster, mural dsb yang dihasilkan para senimannya memiliki daya tawar  posisi serta definisi status, karakter, identitas, struktur dan bentuk persepsi yang selalu mempertanyakan kembali mengenai  street art. Ketika kita mulai diliputi berbagai macam keraguan yang menghasilkan beragam banyak pertanyaan yang menyoalkan kembali berbagai landasan teoritik dan metodologi street art dengan wilayah-wilayah kajian disiplin lain.

Menurut facoult, identitas dari sebuah permainan adalah proses mempromosikan hubungan sosial tertentu yang tersembunyi, lalu untuk apakah street art ini ada ? Mungkin merupakan salah satu passion dari sebuah culture dalam membangun ruang-ruang alternatif dalam bentuk permainan kuasa  bentuk yang lain dari pemahaman ruang dan diri untuk menemukan esensi ruang kota untuk ditemukan dan direspon secara bersama-sama. Munculnya kecenderungan secara praktik dan pemahaman  yang sebelumnya konvensional dan tidak terfikirkan menimbulkan bentukan hybrid dan  penggunaaan media baru yang dihasilkan akibat dari perkembangan teknologi yang diserap oleh masyarakat urban turut memperkaya makna dari street art itu sendiri , makanya ini dapat disebut sebuah Subculture.

Jika kita melihat perkembangan street art sebagai bentuk ekspresi seni, untuk situasi di Indonesia, Bandung khususnya yang notabene merupakan salahsatu pusat masyarakat urban, apakah sangat meyakinkan bahwa paraktik artistik ini dapat menyangga paradigma yang ada dari terbukanya sebuah  jalan keragaman dalam bentuk artistik namun disisi lain dapat membuka kran kerarah keseragaman yang datar, sebuah  proses stagnan dari proses cipta kreasi. Hal ini memang meresahkan , tetapi anggapan ini dapat dikikis dengan apa yang kita sebut akulturasi dengan budaya lokal, maksudnya dengan pencitraan visual yang sama dan passion yang sama dapat dimunculkan dengan responsif terhadap issue-issue lokal dimana  para seniman street art ini hidup dan berkarya. Issue-issue lokal ini sangat memberikan masukan idea yang mengena, bukankan street art ini adalah wilayah kritik terhadap issue yang beredar disekitar kita.

Hidup diruang yang penuh intervensi halus yang beragam melahirkan bentuk kebingunagn yang berbahaya , krisis identitas. Oleh karena itu praktik dinamisasai melalui street art ini dapat menjadi mutasi dari pergerakan kritis. Armand Jamparing salah satu kalau boleh saya sebut seniman street art di Bandung , dengan stensil sebagai praktik kecenderungan kekaryaanya mencoba melakukannya. Kali ini disebuah tembok di pusat kota bandung tepatnya diPerempatan Jalan Purnawarman  dan RE Martadinata menjadi kanvas dalam luapan ekspresinya.

Issue tentang Egocentris culture, Social power sampai ke ranah tataletak "Ruang Publik" menjadi kekuatan dalam merespon perkembangan sosial budaya yang terjadi dimasyarakat kota Bandung. Dalam catatan kecilnya, armand ingin menyampaikan bahwa dikehidupan sosial sekarang memiliki kecenderungan sikap yang membingungkan dan berbahaya,  menjurus pada krisis identitas tadi. Menurutnya kehidupan sekarang penuh intrik, egocentris culture dan kita berada dalam pusarannya, maka tata letak ke'ego"an tadi coba direkonstruksi ulang dalam wujud strategi social power dimana ini pada awalnya merupakan strategi personal yang tanpa batas, tanpa pamrih, tanpa intrik tetapi tepat penuh dinamika warna-warni dan mengingat tentang "siapa kita?" sebagai kekuatan identitas minimal di halaman rumah sendiri.

Armand Jamparing dalam move act (by frankazoid)
Armand Jamparing dalam move act (by frankazoid)
Frans dalam move act (by frankazoid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar