Senin, 14 Maret 2011

Buku : Kreativitas Tanpa Batas

feb 2011 | frans ari prasetyo

Louncing buku Kreativitas Tanpa Batas di GIM (by frankazoid)
"Kreatif" itulah slogan yang dalam beberapa tahun belakangan ini tersemat dalam diri kota Bandung. Bagaimana tidak pola-pola kreatif yang awalnya berasal dari wilayah individu kini masuk keranah wilayah industri dan politis. Sekarang ini banyak sekali aspek kehidupan terutama masyarakat Bandung yang sangat berkaitan dengan wilayah "kreatif" ini karena sudah menjadi hajat hidup orang banyak dengan beragam kepentingannya.

Bila dijabarkan lebih jauh, kreatif ini dilakukan dalam aktivitas yang continue menghasilkan sebuah value bernama kreativitas. Kreativitas ini dapat dipetakan menjadi beberapa fragmen dan dikaji/dilihat dari berbagai sudut pandang maka akan menghasilkan pandangan yang berbeda-beda dan mempunyai cirinya masing-masing, misalnya :

Kreativitas bila masuk dalam ranah psikologi, merupakan sebuah kemampuan alamiah dari otak kanan yang kemudian terasah oleh beragam disiplin ilmu yang dipelajarinya.Kreativitas bila masuk dalam ranah ekonomi , merupakan bentuk lainnya dari kapitalisme.

Kreativitas dilihat dari sifatnya, bila merupakan sesuatu yang murni hanya akan berkisar dalam wilatah akademik, sedangkan bila kreativitas merupakan sebuah terapan, maka merupakan sebuah instrumen dari sebuah mekanisme sosial-engineering dalam kehidupan sehari-hari.

Kreativitas dilihat dari kualitasnya, bila secara personal adalah bagaimana mengembangkannya dalam basis individu/internal. Tapi bila kreativitas merupakan kualitas secara kolektif, maka bagaimana sebuah kolektif/komunitas tersebut melembagakan kreativitas untuk menjadi nilai yang fundamental.

Kreativitas bila dipandang sebagai sebuah persoalan kognitif, maka hanya semata-mata terbentuk karena terbukanya akses pngetahuan dan informasi dan juga sebagai wadah pengembangan diri. Sedangkan bila kreativitas dipandang sebagai persoalan sosiologis, maka bagaimana mekanismenya untuk mengembangkan kreativitas itu sendiri yang ditandai oleh patologi sosial yang ada dimasyarakat itu sendiri. Misalnya bagaimana kreativitas bisa berkembang dalam masyarakat yang penuh dengan kontaminasi korupsi dll.

Kreativitas yang dilihat merupakan sebuah realisasi yang sporadis , maka ini menjadi sesuatu yang tidak mengikuti trend atau pola yang sedang berkembang. karena hal ini merupakan pilihan sendiri maka hasilnya atau dampaknya tidak berpengaruh dalam skala makro. Apabila kreativitas dilihat dalam kacamata realisasi yang sistemik, maka disini diperlukan desain yang manjur untuk bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, mengingat masyarakat Indonesia dewasa ini telah kehilangan kemampuan berfikir yang visioner.

Terakhir bila kreativitas dilihat sebagai elemen yang sinkronis, maka kreativitas disini hanya mengukur berdasarkan lintas periode, misalnya perbedaan antara aktivitas berpolitiknya politisi pada tahun 1945 sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia dengan politisi yang berpolitik di era tahun 1990 sampai 2000an sebelum dan setelah masa reformasi. Tapi bila dipandang  kreativitas sebagai sesuatu yang diakronis, maka nilai kreativitasnya hanya dilihat dari prestasinya atau periodenya, misalnya kreativitas anak-anak yang yang mampu membuat sebuah software bidang tertentu yang diakui oleh publik diera informatika sekarang ini.Akhirnya , kreativitas dapat dijadikan modal sistemik sebagai langkah lebih lanjut dalam area aktivitas untuk bisa masuk dan berada diwilayah ekonomi makro.

Adalah Hudaya Latuconsina yang mencoba merangkum hal diatas dalam sebuah buku bertajuk "Kreatifitas Tanpa Batas : Menuju Ekonomi Kreatif Berbasis Insan Kreatif". Hudaya sendiri merupakan sosok yang selama ini dikenal sebagai mentor, fasilitator, trainer di bidang sumberdaya manusia bagi pegawai negeri sipil didaerah tempat dia bekerja di provinsi Banten. Dalam peluncuran bukunya kali ini terdapat narasumber lain seperti Benny Yohanes sebagai dosen dari STSI dan Guftaff H Iskandar sebagai penggiat kreatif di bandung melalui Commonrooms. 

Acara yang berlangsung di Gedung Indonesia menggugat dipenuhi oleh para undangan yang sebelumnya telah melakukan registrasi dan konfirmasi kedatangannya, karena mereka akan diberikan buku yang ditulis oleh Hudaya Latuconsina secara gratis sehingga tempatnya terbatas. Tapi dengan tidak melihat hal tersebut, masa yang hadir bisa dilihat dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari akademisi, mahasiswa, praktisi, media dll yang sangat mengapresiasi kehairan buku ini sebagai tambahan wawasan dalam perspektif Hudaya latuconsina ketika memandang issue kreatif ini. Hal ini tentu saja sangat penting karena gagasan yang ditampilkan dalam buku ini dikaitkan dengan nilai-nilai religius disamping dengan teori-teori barat yang dipaparkan dengan gamlang. Setidaknya buku ini menjawab respon publik yang kreatif untuk tetap terus aktif berkreasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar